Ritual Keshalehan demi Pencitraan Politik akan Blunder

Jakarta– Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim, mengatakan, ritual keshalehan yang bertujuan untuk pencitraan politik semata hanya akan menghasilkan blunder.

Sebab, umat Islam tak lagi mudah terbius oleh simbol-simbol keislaman, tapi lebih kepada wujud nyata melalui keberpihakan serta atensi pemerintah untuk umat Islam.

“Pada Ijtima Ulama I dan II, seluruh alim ulama dari penjuru Tanah Air ikut menentukan kepemimpinan nasional. Jadi, ada suatu gelombang yang sangat besar di tubuh umat Islam. Dalam konteks keumatan, ada persoalan krisis keautentikan. Kepemimpinan itu harus on the track . Jika tidak, akan terjadi banyak blunder,” kata Fahmi di Jakarta, Selasa (12/02/2019).

Menjelang pelaksanaan Pilpres 2019, berbagai isu dimainkan baik oleh kandidat petahana maupun penantang.

Lansir Indonesia Inside, Rabu (13/02/2019), salah satu yang mendapat sorotan publik adalah politisasi agama yang kerap dilakukan petahana beberapa waktu terakhir, termasuk menjadi imam shalat di depan kamera.

“Seperti keshalehan ritual yang sifatnya personal dan privat, namun sengaja dikapitalisasi untuk kepentingan pencitraan politik.

Saya agak tergelitik ketika di beberapa grup WA (WhatsApp) ada tagar #PrabowoJumatDimana? Ini pertanyaan yang lucu jika dikaitkan dengan politik dan tidak pada tempatnya. Artinya, kita meragukan keislaman seseorang. Sebab, hukum shalat Jumat adalah fardu ain,” ujar dai nasional ini.

Fahmi pun mengingatkan pemerintah terkait kasus kerusuhan Tolikara yang tidak kunjung selesai hingga saat ini. Pada saat rapat, Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada masing-masing ulama untuk menyampaikan keluhannya.

Namun, setelah para ulama selesai menyampaikan apa yang mengganjal di pikiran mereka, Presiden Jokowi langsung menutup rapat tanpa menyatakan langkah yang akan diambil.

“Inikah kepemimpinan kita? Tidak memberikan solusi. Tidak memberikan arahan. Ini baru satu kasus. Mungkin ada masalah lain yang terkatung-katung karena tidak ada arahan dari pemimpin,” ungkap Fahmi.

“Jadi, politisasi agama ini luar biasa. Keshalehan personal kalau bukan editan dan bukan direkayasa, saya bersyukur. Tapi keshalehan personal harus berbanding lurus dengan keshalehan sosial. Sehingga, keshalehan sosial dan keshalehan publik di satu negara bisa dirasakan manfaat dan berkahnya,” ucapnya.*

Komentar

Postingan Populer